Makna Tradisi Ruwahan Sambut Ramadhan
Makna Tradisi Ruwahan Sambut Ramadhan
Secara umum persiapan yang sama bagi semua warga muslim sedunia dalam menyambut Ramadhan adalah berdoa dan menguatkan niat agar puasa di bulan Ramadhan tahun ini berjalan lancar, khusyuk, dan mendapatkan barokah dari Allah SWT. Sedangkan persiapan dalam rangka menyambut bulan puasa dalam hal tradisi atau perilaku masyarakat di setiap tahun tentu saja berbeda-beda dalam bentuk dan nama pelaksanaan ritual budaya sambut puasa. Aktivitas budaya atau tradisi yang dilakukan masyarakat di setiap daerah sangatlah beragam dan berbeda-beda, termasuk dalah hal asal usul dan sejarahnya. Khusus di Jawa, ritual atau tradisi sambut Ramadhan juga berbeda nama dan tata caranya antara masyarakat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat atau Sunda. Tradisi menyambut puasa di Jawa Barat dikenal dengan sebutan tradisi munggahan (punggahan), sedangkan di Jawa Tengah dikenal dengan nama tradisi ruwahan atau sadranan atau nyadran.
Pengertian tradisi Ruwahan (bukan ruwatan) adalah kebiasaan warga masyarakat di Jawa yang secara turun-temurun melakukan upacara atau ritual dan kegiatan yang dilaksanakan di pertengahan bulan Sya’ban (Ruwah) atau 15 hari menjelang Ramadhan. Menurut Andre Moller dalam bukunya Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2005) menyampaikan bahwa makna Ruwahan sebagai bentuk iman kesalehan individual dan kolektif. Dimana dalam tradisi ruwahan atau sadranan inilah dijumpai banyak kegiatan untuk menyambut Ramadhan seperti acara nisfu Syaban (Sabanan), pawai atau arak-arakan keliling kota, bersih desa, slametan, kendurenan, ziarah kubur, hingga berakhir pada acara padusan (junub / mandi keramas) di akhir bulan Syaban. Semua rangkaian acara ruwahan atau sadranan ini mengandung makna dan filosofi tentang keimanan pada Tuhan, agar dalam hidup ini mereka yang tengah hidup di dunia tetap mengingat tentang asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) yang secara biologis adalah dengan cara menghormati leluhur atau nenek moyang yang menurunkan (melahirkan) kita.
Seperti dikutip dari laman http://psp.ugm.ac.id, dengan mengingat arwah leluhur dan merenungi kehidupan yang fana ini, sambil memanjatkan doa untuk para arwah tersebut adalah inti dari tradisi Nyadran yang diwujudkan dengan ziarah kubur di bulan Ruwah. Doa pada ziarah kubur ini sebagai wujud dari amal yang tidak putus ketika orang telah meninggal, yaitu doanya anak yang soleh. Sementara makna tradisi Ruwahan sambut Ramadhan yang berupa ritual bersih kampung, slametan, kenduri, serta megengan (hantaran makanan) merupakan manifestasi dari praktek doa bagi semua keluarga dan kerabatnya yang masih hidup dengan wujud silaturahmi, saling memaafkan, dan saling membantu untuk mempersiapkan diri memasuki ibadah puasa Ramadhan dengan rasa yang suci serta penuh suka cita. Ritual acara nyadran atau ziarah kubur dengan menaburkan bunga-bunga di atas pusara biasa disebut juga dengan istilah nyekar (sekar adalah bunga atau kembang dalam bahasa Jawa). Keindahan warna dan keharuman bunga menjadi simbol bagi orang Jawa, agar selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari diri para leluhur atau nenek moyang kita yang telah menjadi arwah. Filosofi ritus nyekar (tabur bunga di pusara) itu dapat memberi semangat bagi kita yang masih hidup untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirat). Masyarakat Jawa selain nyekar dalam cara sadranan, sebelumnya mereka juga membersihkan lingkungan di sekitar makam dari sampah dan rerumputan liar, baru kemudian membacakan tahlil dan Surat Yasin sebagai sarana untuk berdoa pada Tuhan, agar arwah para leluhur kita (dari mulai orang tua, simbah, buyut, canggah, wareng, udhek-udhek, gantung siwur, dan seterusnya ke atas) selalu mendapat rahmat dari Allah SWT.
Sementara untuk tradisi megengan (hantaran makanan) di bulan Ruwah yang umumnya berlangsung 7 hari menjelang Ramadhan tidak hanya untuk menciptakan hubungani kesalehan sosial di masyarakat, namun tradisi ini juga sebagai upaya untuk perputaran perekonomian. Bahkan sagat mungkin bahwa tradisi megengan ini yang kemudian menciptakan tradisi pasar kaget Ruwahan di beberapa daerah di Jawa seperti Dugderan di Semarang, Dhandangan di Kudus, Pasar Senggol di Selang Kebumen, dan sebagainya. Ciri khas dari isi tradisi megengan Ruwahan di Jawa adalah sajian kuliner khusus berupa ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketan adalah lengket, sebagai simbol untuk mengeratkan tali silaturahmi. Makna kolak yang manis bersantan adalah untuk mengajak persaudaraan semakin dewasa dan barokah serta penuh kemanisan. Sementara makna apem adalah apabila ada saling salah, maka sekiranya bisa saling memaafkan. Rangkaian tradisi ritus Ruwahan jelang Ramadhan tersebut ditutup dengan acara padusan (junub) yang dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk membersihkan diri lahir dan batin sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.